Kamis, 19 Februari 2009

Money Laundering Dalam Pandangan Fiqh Jinayat

PENDAHULUAN

Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas, maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia. Akibatnya, kejahatan tersebut dapat menghambat kemajuan suatu Negara, baik dari aspek social, ekonomi, maupun budaya. Mengingat bahwa kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. maka wajar kalau sejak dulu hingga kini orang selalu membicarakan kejahatan, mulai dari kejahatan yang sederhana (kejahatan biasa), sampai pada kejahatan yang sulit pembuktiannya. Bahkan, sebenarnya secara histories, kejahatan sudah ada sejak zaman nabi Adam, diantaranya adalah kasus pembunuhan putra Adam dan Hawa oleh saudara kandungnya sendiri. Atau perbuatan Adam dan Hawa yang berakibat kepada diturunkannya Adam dan Hawa ke Dunia karena melanggar aturan Allah untuk tidak memakan buah Kuldi, bisa juga dikatakan sebagai kejahatan.

Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan popular di kalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang Inggris. Tetapi kita tentu akan mulai berpikir ketika ada pernyataan, apakah sebenarnya kejahatan itu? Menurut Hoefnagels, kejahatan merupakan suatu pengertian yang relative. Banyak pengertian yang digunakan dalam ilmu ilmu social yang berasal dari bahasa sehari hari (common parlance), tetapi sering berbeda dalam mengartikannya. Hal itu disebabkan karena bahasa sehari hari tidak memberikan gambaran yang jelas tentang kejahatan, tetapi hanya merupakan suatu ekspresi dalam melihat perbuatan tertentu. Dalam hal ini Sudarto memberikan contoh, misalnya terhadap tindakan “penodongan”, tentu semua orang akan mengatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan kejahatan. Berbeda dengan permintaan “uang hangus” oleh seorang peminjam uang, yang disinyalir oleh presiden Soeharto sebagai hal yang harus dihapus, mungkin ada orang yang berpendapat itu sesuatu yang sudah sewajarnya.[1]

Karena pengertian kejahatan yang relatif tersebut itulah, maka sangat wajar kalau masing masing negara di dunia ini berbeda beda dalam mengklasifikasikan mana perbuatan yang merupakan kejahatan, dan mana yang tidak, artinya bahwa suatu perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu merupakan suatu kejahatan pula di negara lain. Hal ini juga berakibat pada kesulitan suatu negara untuk menangkap pelaku kejahatan warganya yang melarikan diri ke luar negeri. Misalnya, seorang koruptor Indonesia yang lari ke Singapura akan sulit untuk ditangkap dan diadili karena perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak pernah mencapai kata sepakat, hal itu disebabkan perbuatan yang dianggap korupsi oleh Indonesia, belum tentu merupakan tindakan korupsi bagi Singapura.

Terlepas dari itu semua, bahwa sehubungan dengan semakin berkembangnya kejahatan dari waktu ke waktu sudah sejak tahun 1825 hingga 1970 saja sudah tercatat lebih dari 80 kali konferensi Internasional yang upaya upaya untuk mengatasi persoalan kejahatan.[2] Salah satu kejahatan yang sempat menjadi perhatian dunia dewasa ini adalah kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering), selain di samping itu masih banyak kejahatan lain yang menjadi perhatian dunia terutama yang masuk dalam kategori kejahatan transnasional, seperi the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, terrorism, trafficking in women and children, dan lain lain.

Terhadap masalah masalah kejahatan baru yang muncul tersebut, bagaimana Islam menyikapinya, mengingat Islam merupakan agama yang kaffah di mana bidang Jinayat (Pidana) juga sudah diatur sedemikian banyak baik dalam al Qur’an maupun hadits nabi, khususnya terhadap kejahatan Money Laundering yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Kejahatan Money Laundering

Amerika adalah negara pertama yang menggunakan istilah Money Laundering. Istilah tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap yang dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah olah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah Money Laundering kali pertama digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus tersebut menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokai Kolombia. Dalam perkembangannya proses yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah olah uang yang diperoleh benar benar alami. Sementara Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money loundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata illegal, human trafficking dan kegiatan kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang banyak dapat mendorong untuk menghalalkan (legitimasi) hasil yang diperoleh melalui Money Laundering. Bahkan dengan teknologi Money Laundering dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.[3]

Sementara menurut pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering.[4]

Perhatian dunia internasional tersebut tidak mengeherankan, karena Money Laundering merupakan kejahatan yang menimbulkan dampak negatif sangat luar biasa. Menurut Pemerintah Canada dalam suatu paper yang dikeluarkan oleh Department of Justice Canada yang berjudul Electronic Money laundering: An Environmental Scan dan diterbitkan Oktober 1998, ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan money laundering terhadap masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan itu dapat berupa:

a. Money laundering memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pencandu narkoba.

b. Kegiatan money laundering mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat (financial community) sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.

c. Pencucian (laundering) mengurangi pendapatan Pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

d. Mudahnya uang masuk ke Canada telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat kualitas hidup dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.[5]

Sifat money laundering sudah menjadi universal dan bersifat internasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara. Transaksi dari negara ke negara sekarang sudah sangat mudah, yaitu melalui system cyber space (internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyber payment). Maka tidak mengherankan jika Money Laundering sudah bisa disebut sebagai kejahatan transnasional, karena praktik money laundering dapat dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.

  1. Kejahatan Money Laundering di Indonesia[6]

Walaupun terlambat dibandingkan dengan negara negara lain, namun kebijakan melakukan kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dengan keluarnya UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (diundangkan pada tanggal 25 April 2002) sudah menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam upaya penaggulangan Money Laundering yang sudah lama menjadi perhatian Internasional. Bahkan kemudian UU No. 15 tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Dasar pemikirannya adalah untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.

Dengan diundangkannya UU No. 15 tahun 2002 tersebut berarti penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia lebih menitik beratkan pada upaya penanggulangan dengan sarana “penal”. Komdisi demikian merupakan langkah maju dibandingkan dengan kondisi sebelumnya karena sebelum diundangkannya UU tersebut belum ada aturan secara khusus tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[7]

Sebagai mana yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam pasal 1 UU No. 15 tahun 2002 jo. UU No. 25 tahun 2003 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; y. atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Ayat (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.”[8]

Perubahan atas pasal 2 ini merupakan langkah maju dibanding dengan UU sebelumnya, karena Predicate Offence dalam TPPU terbatas pada tindak pidana dengan kategori sebagai berikut; Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.[9]

Sementara dalam hal pembuktian, karena TPPU ini merupakan tindak pidana yang pasti didahului dengan tindak pidana lain, maka yang menjadi persoalan apakah tindak pidana yang merupakan Predicate Offence harus terlebih dahulu dibuktikan. Dalam hal ini Barda Nawawi melakukan analisis hingga pada kesimpulan.

kalau memperhatikan pada unsur unsur delik TPPU, maka harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan/ tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (unsur sikap batin jahat/ kesalahannya), bukan unsur objektifnya, yaitu bukan membuktikan apakah jejahatan itu telah terjadi atau belum. Oleh karena itu adalah wajar dalam penjelasan ayat 3 ayat (1) hruf a dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana.[10]

Oleh karena itu, yang dimaksud dalam penjelasan itu ialah bahwa untuk membuktikan apakah terdakwa “mengetahui/ sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, tidak perlu betul betul dibuktikan telah terjadi tindak pidana, tetapi dibuktikan telah ada bukti yang cukup atas terjadinya tindak pidana. Jadi mirip dengan tindak pidana Penadahan pada pasal 480 KUHP yang dalam beberapa yurisprudensi dinyatakan bahwa pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya putusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang barang tadahan yang bersangkutan.

  1. Money Laundering dalam Pandangan Hukum Islam

Pada ranah hukum Islam Islam, permasalahan kejahatan Money Laundering ini dapat dikategorikan ke dalam fiqih Jinayat. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara etimologi, Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana yang berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.[11]

Sebelum membahas mengenai bagaimana Hukum Islam, khususnya fiqh Jinayat dalam memandang kejahatan Money Laundering, maka lebih dahulu harus diketahui pembagian tindak pidana (jarimah) dalam Hukum Islam. Macam macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishosh diyat dan ta’zir.[12]

  1. Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman hudud (hak Allah). Hukuman hudud yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).

b. Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman hudud yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho’), penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho’).[13]

c. Jarimah Ta’zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang masuk ke dalam jarimah hudud dan qishosh diyat bersifat limitatif, yaitu pada delik delik tertentu saja yang sudah ditentukan oleh nas, baik al Qur’an maupun hadits. Delik delik yang masuk dalam ke dua jarimah tersebut juga terikat oleh syarat syarat tertentu. Oleh karena itu, kejahatan Money Laundering sebagai suatu kejahatan yang berakibat pada kemadhorotan yang besar dapat dimasukan ke dalam jarimah ta’zir, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (selain hudud dan qishash diyat) di mana pelaksanaanya baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.[14]

Untuk hukuman bagi terpidana TPPU ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim sesuai dengan berat ringannya jarimah dan keadaan terpidana, karena hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Khusus terhadap penerapan mati dalam jarimah ta’zir, pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[15]

Penulis memang tidak menemukan mengenai Money Laundering di dalam khazanah Fiqh Jinayat, akan tetapi kejahatan tersebut dapat dimasukkan ke dalam perbuatan fasad. Allah SWT menbenci perbuatan fasad, dan ini jelas dalam ayat Al-Qur’an. kata fasad dan derivasinya diulang selama 47 kali dalam al Qur’an, dan 83 kali dalam hadits yang terdapat dalam kitab kitab hadits. fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah arus, anarkhi, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia nyiaan, penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk yang menyimpang dari kebenaran.[16]

Namun perlu diperhatikan bahwa Money Laundering merupakan kejahatan yang pasti didahului dengan kejahatan lain. Dari kejahatan kejahatan yang mendahului Money Laundering ini ada beberapa yang dikategorikan sebagai jarimah hudud, yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman hudud yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Misalnya saja pencurian yang jenis hukumannya sudah ditentukan oleh nas. Maka pencuriannya merupakan jarimah tersendiri, sementara untuk Pencucian uang sudah juga merupakan jarimah tersendiri.

KESIMPULAN

Money Laundering merupakan kejahatan yang sangat merugikan, karena berakibat pada dampak negatif yang luar biasa, baik bagi negara maupun masyarakat. Hal itu sudah diakui oleh dunia internasional. Kesepakatan Internasional untuk melarang kegiatan Money laundering ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988.

Karena dampak negatifnya yang sangat besar dalam berbagai dimensi baik bagi negara maupun masyarakat, maka sudah menjadi keharusan praktek Money Laundering untuk dilarang. Kalau dalam hukum Pidana Indonesia sudah jelas, yaitu diatur dalam UU No. 15 tahun 2002 jo. UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sementara di dalam Hukum Islam, penulis tidak menjumpai dalam nas ataupun kitab kitab fiqh mengenai pengaturan secara khusus tentang Money Laundering. Akan tetapi menurut penulis Money laundering dapat dikategorikan sebagai perbuatan fasad yang dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, maka sepatutnya untuk dilarang oleh ulil amri yaitu dengan ketentuan hukuman yang diserahkan kepada penguasa karena bukan merupakan kategori jarimah hudud atau qishosh diyat.

Yang perlu dicatat, bahwa dengan kemajuan teknologi saat ini, tidak mustahil Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU) berkaitan erat dengan cyber crime karena uang yang akan dicuci melalui bank kemungkinan dapat ditempatkan dan ditransfer secara elektronik. Oleh karena itu, kriminalisasi di bidang pencucian ini pun harus didukung pula dengan kebijakan penal di bidang cyber crim. Kebijakan dengan ini pun belum merupakan jaminan. Masih harus ditunjang pula dengan pendekatan non-penal, baik berupa pendekatan techno prevention maupun dengan pendekatan budaya dan administrasi prosedural yang ketat di bidang keuangan/ perbankan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qodir Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I Islami. Beirut: Al Muassasah Al Risalah.

Abu Bakar Jabir Al Jazair. 2003. Minhajul Muslim. Beirut: Darul Fikri.

Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Asitya Bakti.

http://www.economic-law.net/PencucianUang.doc

http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=9 yang direkam pada 23 Okt 2007 01:04:35 GMT.

Indonesia, Undang undang Republik Indonesia No. 15 tahun 2002 jo. Undang undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

M. Amir Amirullah. 2003. Money Laundering; Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang: bayu Media Publishing.

Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung pustaka.

Robitul Firdaus. 2007. Melawan Korupsi Demi Kemaslahatan. Makalah yang disampaikan pada mata kuliah masa’il Fiqhiyyah fil Jina’I di Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia.



[1] M. Amir Amirullah. 2003. Money Laundering; Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang: bayu Media Publishing. Hal. 1.

[2] M. Amir Amirullah. 2003. Money Loudering…………………………………. Hal. 5.

[3] M. Amir Amirullah. 2003. Money Loudering…………………………………. Hal. 9. Dalam buku ini juga dicantumkan definisi Money Laundering yang dikutip oleh Bambang Setijoprojo dari M Giovanoli dan J. Koers masing masing pendapatnya adalah, (1) Money Luondering merupakan suatu proses dan dengan cara seperti itu, maka aset yang diperoleh dari tindak pidana (kejahatan) dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah dari sumber yang sah (legal). (2) Money Laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal usul uang tersebut.

[4] Berdasarkan kon-vensi ini RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003 (http://www.economic-law.net/PencucianUang.doc).

[5] http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=9 yang direkam pada 23 Okt 2007 01:04:35 GMT. Dalam situs ini juga disebutkan pendapat John McDowel dan Gary Novis, dari Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affair, U.S. Department of State mengenai dampak dari kejahatan Money Laundering. Mereka mengemukakan dalam papernya pada bulan Mei 2001 beberapa dampak dari pencucian uang. Sejalan dengan pendapat pemerintah Canada sebagaimana telah dikemukakan di atas, mereka mengemukakan dampak-dampak pencucian uang itu adalah sebagai berikut: a) Merongrong sektor swasta yang sah (Undermining the Legitimate Private Sector). b) Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (Undermining the Integrity of Financial Markets). Lembaga-lembaga keuangan (financial institutions) yang mengandalkan pada dana hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas. c) Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (Loss of Control of Economic Policy). d) Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic Distortion and instability). e) Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (Loss of Revenue). e) Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (Risks to Privatization Efforts). f) Menimbulkan rusaknya reputasi negara (Reputation Risk). g) Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (Social Cost).

[6] Untuk mengetahui lebih banyak tentang pengaturan TPPU di Indonesia bisa dibaca dalam UU No. 15 tahun 2002 jo. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

[7] Dalam pertemuan tahunan ke dua pejabat senior ASEAN mengenai kejahatan lintas Negara (The Second ASEAN Annual Senior Officials Meeting on Transnational Crime) tanggal 17 Mei 2002 telah diterima program kerja untuk mengimplementasikan “Rencana ASEAN Menghadapi Kejahatan Transnasional” (The ASEAN Pland of Action to Combat Transnasional Crime), antara lain dalam menghadapi Money Laundering atau TPPU. Dalam pertemuan tersebut disepakati beberapa program kerja dalam memberantas Money Laundering di negara ASEAN. Pertemuan inilah yang sedikit banyak berakibat pada perubahan atas UU No. 15 tahun 2002. (Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Asitya Bakti. Hal. 182.)

[8] Oleh karena itu Predicate Offence atau delik delik yang menjadi sumber asal dari uang haram (dirty money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) yang kemudian dicuci bersifat limitative.

[9] Dalam UU No. 15 tahun 2002 membatasi jumlah harta kekayaan yang dicuci, yaitu Rp. 500.000.000,-. Tetapi dalam UU No. 25 tahun 2003 tidak membatasi. Memang pada beberapa Negara lain, termasuk Filipina dan Malaisyia tidak ditentukan batasnya.

[10] Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta.....................................................Hal. 172..

[11] Abdul Qodir Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I Islami. Beirut: Al Muassasah Al Risalah. Hlm. 67. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman hudud atau ta’zir (A. Djazuli. 2000. Fiqh Jinayat; Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 1). Sementara Mahrus Munajat dalam bukunya mengatakan bahwa sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari’at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta (Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung pustaka. Hlm. 2).

[12] Abdul Qodir Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I......................................Hlm. 78.

[13] Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja (qotl ‘amd) karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, “ Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih) (Abu Bakar Jabir Al Jazair. 2003. Minhajul Muslim. Beirut: Darul Fikri. Hlm. 397). Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (‘Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (‘uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (‘uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya (Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 260).

[14] Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah (Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum...................... Hlm. 13).

[15] Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum........................................Hlm. 299-318.

[16] Fethi Ben Jomaa Ahmed dalam Robitul Firdaus. 2007. Melawan Korupsi Demi Kemaslahatan. Dalam makalah yang disampaikan pada mata kuliah masa’il Fiqhiyyah fil Jina’I di Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia.

2 komentar:

  1. makasiii ..
    udah post tentang ini..
    gyta jadi dapet bahan buat ngerjain tugass ..
    hehehehe

    BalasHapus
  2. makasii yah mas, sumpah lengkap banged...

    BalasHapus

Silahkan anda berkomentar apapun, disini merupakan free discussion area...sumonggo